Tulisan Berjalan

اللهم صل على سيدنا محمد

Selasa, 06 Desember 2011

Adakah pluralisme dalam Islam?
 Sebelum saya berbicara tentang pluralisme terlebih dahulu saya akan menyinggung istilah “pluralisme” dengan harapan agar tidak terjadi kesalah-pahaman di antara semua di hadapan istilah tersebut. Pluralisme sering di artikan oleh penyerunya sebagai sikap mengakui dan menerima kenyataan bahwa masyarakat itu bersifat mejemuk disertai dengan sikap tulus menerima kenyataan kemajemukan sebagai sesuatu yang bernilai positif, dan merupakan rahmat Allah kepada bangsa menusia . Pluralisme tidak sekedar menyadari akan kemajemukan. Akan tetapi lebih dari itu harus ada keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut . Seorang pluralis adalah orang yang menyadari kemajemukan sebagai sesuatu yang positif sekaligus dapat berinteraksi aktif dalam lingkungan kemajemukan . Jika demikian adanya maka pluralisme adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin . Bahkan jika benar begitu makna pluralisme maka ia adalah sesuatu yang sangat asasi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Sebenarnya ummat Islam tidak butuh dengan istilah pluralisme sebab makna yang terkandung didalam Islam amat melampaui hakekat pluralisme Kalau bukan karena maraknya istilah pluralisme dan banyaknya kejanggalan prilaku penyeru pluralisme niscaya tidak akan ada istilah pluralisme dalam tulisan ini. Dan semestinya umat islam sudah tidak boleh menggunakannya karena istilah pluralisme telah banyak diberi makna beda lalu digunakan pendusta-pendusta perdamaian dan agama untuk menutupi kebusukan maksud yang terkandung di kalbunya. Berinteraksi aktif-positif bukan berarti menyamakan agama dalam kebenaran (menganggap semua agama benar). Anggapan semua agama itu benar adalah anggapan yang salah, dan itu ungkapan yan tidak bermakna. Sebab agama tertuang dalam sebuah keyakinan. Bagaimana dua yang bertentangan dalam masalah keyakinan kita katakan benar semua. Pasti salah satunya salah atau dua-duanya harus salah dan yang benar adalah di luar itu. Dalam beragama harus ada keyakinan, yang tidak yakin dengan kebenaran agama bukanlah orang yang beragama. Dalam beragama ada yang namanya perubahan keyakinan sesuai dengan kuat-lemah dan benar-tidaknya sebuah hujjah (argumentasi). Tetapi seseorang yang berubah keyakinanya tetap tidak keluar dari yang namanya keyakinan. Meyakini kebenaran agama yang dipeluknya lalu menganggap agama yang lainya salah, tidak ada hubunganya dengan pluralisme dan juga tidak bertentangan dengan pluralisme. Sebab pluralisme dalam arti berinteraksi aktif–positif dalam kemajemukan, baik di saat adanya perbedaan keyakinan atau tidak. Berbeda keyakinan bukan halangan untuk mewujudkan semangat pluralisme, begitu juga di saat tidak adanya perbedaan bukan berarti pluralisme telah terwujud. Orang yang menganggap semua agama benar adalah si dungu yang berkhianat terhadap keyakinan dan agamanya. Itu sama artinya dengan orang yang tidak beragama. Anggapan semua kitab-kitab (yang sering disebut kitab suci) yang ada sekarang ini masih asli semua adalah bentuk yang lain lagi dari kedunguan penghianat agama. Yang tidak meyakini kebenaran kitab suci agama yang dipeluknya akan menghasilkan pendustaan kepada agama kitab suci itu sendiri. Sebab seseorang yang meyakini kebenaran kitab suci lalu menemukan kitab suci agama orang lain terdapat beberapa hal yang sangat bertentangan dengan kitab sucinya, apakah mungkin dengan akal sehatnya bisa meyakini kebenaran kedua kitab suci tersebut ?. (Perbedaan yang saya maksud adalah perbedaan dalam prinsip-prinsip keimanan seperti masalah ketuhanan, kenabian, hari akhir dll) Pluralisme baginya tidak lebih dari sekedar basa-basi sosial tanpa ada motivasi yang pasti yang mendorong seseorang untuk saling mengerti dalam kemajemukan. Yang diharap di dalam melaksanakan tugas kemanusiaan yang agung ini adalah imbalan dari manusia, atau agar diperlakukan sebagaimana yang ia lakukan untuk orang lain. Hal itu amat jauh nilainya jika dibandingkan dengan pluralisme orang beragama. Orang beragama berkeyakinan bahwa imbalan yang sejati adalah imbalan dari Tuhan. Imbalan dari manusia tidak masuk dalam perhitungannya. Artinya, motivasi perbuatannya adalah perkenan Tuhan. Seorang yang beragama dituntut untuk berbuat baik kepada sesama, baik di saat dia diperlakukan orang lain dengan baik atau tidak. Hal ini teramat jelas terurai dalam ajaran Islam yang disebut dengan istilah ikhlas, berbuat hanya karena Allah. Bahkan amal perbuatan tidak akan di terima Allah jika tidak dilakukan dengan ikhlas. Pluralisme; Milik Kita yang Hilang Diantara masalah yang akhir-akhir ini amat kerap disebut dalam diskusi atau berbagai studi sosial dan keagamaan adalah pluralisme. Namun ia lebih seperti salah satu anggota keluarga yang tidak pernah di sebut kecuali setelah ia tiada. Dalam masyarakat pluralis, penyebutan istilah pluralisme volumenya akan sangat kecil, yaitu di saat pluralisme tidak hanya sekedar dalam teori dan jargon. Tetapi benar-benar telah diterjemahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat Madinah di zaman Nabi SAW adalah sample paripurna masyarakat madani yang pluralis. Harmoni kehidupan benar-benar tercipta, mulai dari perbedaan tradisi antar suku yang beragama sama hingga yang berbeda agama. Kesiagaan untuk berinteraksi aktif-positif benar-benar terjamin dan tercipta saat itu. Padahal sebelumnya masyarakat ini amat sulit dipersatukan dalam satu kesepakatan dalam perbedaan, lebih lagi jika itu perbedaan keyakinan. Hal yang demikian itu (yakni keharmonisan) terbentuk karena adanya komando yang dipatuhi yang menyeru kepada sikap menerima perbedaan pendapat sekaligus cara menjalani hidup dengan perbedaan dengan cara yang sebaik-baiknya. Komando yang saya maksud adalah ajaran agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Nabi yang diutus Allah untuk menciptakan kasih sayang yang bukan hanya diantara pengikutNya, tetapi kasih sayang diantara bangsa manusia semuanya (rahmatan lil’alamiin). Dalam masyarakat seperti ini seorang Yahudi atau Kristiani tidak akan pernah merasa risih berinteraksi dengan kaum muslimin. Bahkan di saat ada dari kaum muslimin yang mengabaikan haknya dengan lega dan pasti mengangkat permasalahanya keatasan. Dan atasan yang adilpun akan menjatuhkan vonis sesuai dengan tata aturan perlindungan hak asasi manusia yang sangat dijunjung tinggi oleh Islam. Masyarakat yang telah menyadari pentingnya pluralisme tidak lagi menggembar-gemborkannya dengan lafal, tapi mereka akan lebih sibuk untuk menjadikan kebersamaan tersebut sebagai asas yang mendasari sepak terjangnya dalam mengarungi kehidupan ini. Dan sebaliknya, jika asas ini telah keropos atau bahkan punah, jangankan untuk saling berintraksi aktif-pasitif dengan orang yang berbeda agama, sesama agama atau bahkan dalam rumah sendiripun (keluarga) keharmonisan akan sulit diwujudkan. Problem yang amat kompleks di masyarakat kita yang bertahun-tahun tidak kunjung usai. Pertikaian antar agama dan antar suku yang sering muncul adalah karena tidak adanya kesadaran akan pluralisme. Dan kita semua tidak membicarakan pluralisme, kecuali karena pluralisme di Indonesia memang telah hilang . Pluralisme Yang Teraniaya Di saat tidak adanya kesadaran akan pentingnya pluralisme (dalam arti pluralisme tidak lagi dijadikan pijakan untuk hidup bermasyarakat) maka pluralisme disebut dan dihadirkan untuk memberi solusi problem yang merebak. Menjadikan pluralisme sebagai solusi adalah kedzaliman pertama bangsa manusia terhadapnya, menyusul berikutnya kedzaliman dalam cara menghadirkan pluralisme dalam sebuah komunitas. Kita tidak ingin pluralisme dijadikan senjata sekelompok orang untuk memonopoli situasi demi sebuah ideologi atau kepentingan kelompok. Kita tidak ingin pluralisme di jadikan alat penjajahan ideologi. Sebab yang semestinya, pluralisme adalah pelindung ideologi.Adanya indikasi yang demikian adalah yang telah menjadikan benih pluralisme terbunuh sebelum dilahirkan. Bahkan untuk sebagian orang, kelahirannyapun tidak diharapkan. Hal lain yang perlu diamati adalah semangat pluralisme hendaknya tidak hanya diserukan diantara umat yang berbeda agama. Tetapi diantara sesama agama, atau lebih khusus lagi keluarga (yakni antara warga dalam keluarga), kesadaran pentingnya pluralisme juga harus dihidupkan. Suatu kedunguan yang nyata menyeru pluralisme antar agama sementara di dalam rumahnya sendiri semangat ini telah mati. Ini adalah titik penting yang sering dilupakan. Dalam Hadits Nabi SAW disebutkan (yang artinya): “Sebaik-baik kalian adalah yang bisa berbuat baik kepada keluarganya”. Betapa banyak orang yang bisa beramah-tamah dengan orang lain tetapi bersama keluarganya yang tampak hanya suramnya. Mulai dari omongan yang kasar, juga perbuatan yang merugikan bahkan ada yang begitu mudah mendaratkan telapak tanganya di pipi sang istri.Begitu juga dalam sebuah agama (Islam misalnya), ketegangan sering hadir di kalangan mereka sendiri. Kadangkala disebabkan oleh orang-orang yang amat lantang menyeru pluralisme. Yang tidak mampu menjaga kebersamaan dalam agamanya, bagaimana mungkin akan menyeru kebersamaan dengan agama lain? Orang bijak adalah orang yang pandai menghindari atau memperkecil perpedaan pendapat, dan sebisa mungkin menjelaskan agar perbedaan pendapat jangan menjadi sebab permusuhan. Bebasnya media hendaknya kita manfaatkan untuk menciptakan ketentraman dalam masyarakat bukan untuk membingungkan masyarakat. Gejala semacam ini jika tidak segera ditanggulangi atau kita beri solusi, akan membesar menjadi problem masyarakat luas. Puncaknya adalah ancaman bagi terwujudnya semangat pluralisme. Semangat pluralisme yang menggebu-nggebu dalam upaya menciptakan keharmonisan antar agama jika tidak dibarengi dengan semangat pluralisme dalam masyarkat seagama, akan menimbulkan kesan bahwa pluralisme antar agama hanya akan merusak kerukunan masyarakat seagama. Ini adalah lain lagi dari kedzaliman kita kepada pluralisme. Islam dan Pluralisme Sebagai seorang yang beragama Islam sayapun akan mencoba menampilkan wajah agama yang saya peluk sebagai gambaran umum sekaligus asasi tentang Islam dan pluralisme. Jika benar penerjemahan kata ”tasamuh” adalah toleransi, maka pluralisme di dalam Islam bukanlah maknanya membudayakan toleransi. Didalam islam tidak ada toleransi sebab toleransi baru dihadirkan di saat satu dengan yang lainnya telah sama–sama tidak bisa menjalankan kewajiban dan memberikan hak orang lain. Suatu hal yang amat berbeda dengan “pluralisme” dalam Islam yang merupakan ketetapan hukum yang harus senantiasa dihadirkan dalam segala kondisi. Jika kita berbuat baik kepada tetangga atau orang yang berbeda agama dengan kita atau perkenan Islam kepada non-muslim untuk tinggal di dalam masyarakat Islam (negara Islam) berikut kebebasanya dalam beraktifitas dengan masyarakat Islam atau non-Islam juga kebebasan dalam beribadah bukanlah sebuah toleransi, tetapi hal merupakan ketetapan hukum yang telah ditetapkan oleh Islam. Suatu kesalahan jika ketetapan hukum dianggap sebagai toleransi. Sebab toleransi tidak lebih dari menjatuhkan hak atau merelakan haknya untuk tidak dipenuhi dan itupun ada batasan-batasan yang harus dipatuhi. Bukan pujian terhadap Islam jika hukum yang ditetapkan Islam untuk non-muslim itu disebut sebagai toleransi. Karena anggapan ini seolah-olah mengingkari jika yang demikian itu adalah ketetapan hukum. Untuk lebih jelasnya kita bisa merujuk pada Nabi Islam, sosok pluralis yang paripurna. Para pengikutnyapun seharusnya meniti jejak beliau. Mewujudkan pluralisme dalam Islam tidak diperlukan berbagai macam toleransi, sebab pluralisme sendiri telah ditetapkan Islam dalam hukum-hukum yang jelas. Hanya dengan kembali kepada agamanya seorang muslim akan menjadi seorang yang pluralis. Di saat Nabi Muhammad SAW memasuki Madinah, beliau menjamin masyarakat Yahudi dengan kebebasan beraktifitas dan menikmati haknya serta memberikan perlindungan keamanan dari penghianatan dan gangguan dari luar (Ibnu Hisyam 106/2). Padahal jika seandainya Nabi SAW menghardik atau memusnahkan mereka, beliau tidak akan dicela. Sebab Nabi SAW pernah dikhianati oleh Yahudi Bani Quraidhoh pasca perang Badar Kubra begitu juga Yahudi Bani Nadzir pasca perang Uhud. Penghianatan yang lain datang dari Yahudi Bani Quraidhah pasca perang Khondak. Pun demikian Nabi SAW yang diutus untuk membawa dan memberikan kasih sayang itu, senantiasa lemah lembut terhadap mereka dengan harapan keharmonisan bisa tercipta, biarpun orang-orang Yahudi tidak menghendakinya. Begitu pula pada masa Kholifah Abu Bakar r.a, penerus dakwah Nabi SAW. Amat banyak cerita yang menunjukan bahwa beliau itu amat pluralis sebagaimana pendahulunya. Diantaranya adalah sepuluh wasiat beliau yang diberikan kepada Usamah bin Zaid yang berisi larangan menghianati lawan (dalam perang); mencincang; membunuh anak kecil, orang tua, wanita; merusak tanaman; membunuh binatang kecuali untuk dimakan; menghancurkan tempat peribadatan, dst. Wasiat semacam ini disampaikan di saat ada perlawanan dari orang non Islam. Dalam Islam tidak ada istilah memusnahkan orang di luar Islam tetapi yang ada adalah menyampaikan kebenaran kepada mereka dengan penuh damai. Status keberadaan non muslim dalam masyarakat Islam juga beliau kukuhkan sebagai mana pendahulunya Nabi Muhammad SAW. Kholifah Umar r.a pun demikian, seiring dengan berbondong-bondongnya orang masuk Islam, wilayah Islampun dengan sendirinya meluas. Persilangan budaya, tradisi dan agama beliau selesaikan dengan cukup kembali kepada hukum yang ditetapkan pendahulunya Nabi Muhammad SAW. Bahkan di saat terjadinya peperangan sekalipun beliau tidak lupa mengingatkan pasukannya. seperti yang disampaikan kepada Sa’ad bin Abi Waqqas agar menjauhkan pasukannya dari pemukiman non muslim. Ini dengan tujuan agar tidak memperkenankan siapapun dari kaum muslimin memasuki pemukiman mereka kecuali orang yang benar-benar bisa dipercaya, sehingga tidak berbuat aniaya terhadap hak milik mereka, sebab mereka punya kehormatan yang harus dilindungi. Yang mereka lakukan bukanlah untuk sebuah toleransi, tetapi karena itulah ketetapan hukum Islam. Dan masih banyak lagi suri-tauladan pluralisme pada masa Nabi SAW dan sahabat. Begitu juga sejarah perluasan Islam, termasuk masuknya Islam ke negara kita yang penuh kedamaian, bukan melalui peperangan atau penindasan. Adakah makna pluralisme selain dari itu semua?.Pluralisme punya satu hakikat yang sungguh diseru oleh Islam. Siapapun harus bisa membedakan antara pemeluk Islam dan Islam itu sendiri. Gagalnya pluralisme dalam masyarakat Islam di sebabkan oleh kurang dekatnya mereka kepada ajaran agamanya. Musuh-Musuh Pluralisme Jika kita mengamati sekitar kita, terdapat dua kelompok yang amat berbahaya terhadap eksistensi pluralisme. Bahkan keberadaan mereka tanpa disadari telah menghancurkan bangunan pluralisme yang semakin hari semakin rapuh. Mereka adalah : 1-Orang-orang yang eksklusif dalam pemikiran keberagamaan, terkesan sekali dalam sepak terjang mereka menganggap dunia ini hanya mereka saja yang layak menghuninya. Sementara pemeluk lain tidak lebih sebagai makhluk jahat yang tidak boleh diberi kesempatan untuk hidup di bumi ini. Eksklusivisme ini sering muncul dalam wajah-wajah ekstrim setiap agama termasuk di dalamnya agama Islam, Yahudi, Kristen, dan lain-lain. Ekstrimisme inipun hadir bukan tanpa sebab, tetapi ia adalah sesuatu yang terlahir dari salah satu dari dua hal berikut ini : a-Keberadaan agama itu sendiri yang eksklusif, sarat dengan doktrin-doktrin memusnahkan siapapun yang tidak sepaham dengan agama tersebut. b-Kebodohan sang pemeluk agama (padahal agamanya sangat inklusif). Beragam aktifitas yang diatas namakan agama yang sering dikomandokan pemikir agama yang sempit, hanya akan menciptakan masyarakat eksklusif, sempit pandangan dan acuh tak acuh dalam aktifitas dalam masyarakat yang plural. Orang seperti ini telah mengotori agamanya sendiri tanpa ia sadari. 2- Orang yang tidak teguh dalam beragama dalam arti tidak teguh dalam meyakini agamanya (kelompok ini datang khusus dari agama yang tidak menyeru pada eksklusivisme). Bahaya yang datang dari kelompok ini lebih besar dari yang sebelumnya. Sebab sebelum segala sesuatunya kelompok ini telah menghianati agama itu sendiri dan kemudian membohongi pemeluk-pemeluknya. Kelompok ini sering hadir dalam bentuk penyamaan terhadap semua agama, membenarkan semua agama. Jelasnya begini, saya adalah pemeluk agama Islam, lalu saya menyeru kepada umat Islam bahwa agama Kristen itu juga sama seperti agama Islam. Kitab suci orang Kristen juga masih asli seperti Alquran. Kemudian masyarakat yang percaya kepada saya akan menerima omongan saya mentah-mentah sembari meyakininya. Namun setelah mereka benar-benar berinteraksi dengan agama Kristen ternyata antara dua agama itu terdapat perbedaan dan pertentangan. Di saat ia mencoba mengerti tentang agama Kristen ternyata agama itu telah mengklaim kebenaran agamanya, begitu juga saat ia kembali pada agama Islam, masyarakat Islam pun demikian meyakini kebenaran agamanya. Apa yang terjadi setelah itu? Orang yang amat mendengar seruan saya tersebut berangkat dari semangat pluralismenya yang tulus akan dengan serta merta menyalahkan orang-orang yang mengklaim kebenaran agama masing-masing. Baik itu dari masyarakat yang seagama dengannya ataupun yang berbeda. Kesimpulannya, ia telah menciptakan dua musuh dalam waktu yang bersamaan. Musuh dari luar dan musuh dari dalam sendiri. Maka orang tersebut akan menjadi sumber kerusakan dalam rumah sendiri, juga di luar rumah. Sementara yang harus kita yakini sebagai umat beragama adalah : Perbedaan harus ada dalam hidup bermasyarakat. Ini merupakan kesepakatan semua orang yang berakal, termasuk di dalamnya perbedaan di dalam beragama. Pluralisme berfungsi dalam arena interaksi dengan sesama untuk menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Berangkat dari memahami perbedaan sesorang akan mudah dalam mewujudkan masyarakat yang pluralis. Perhatikan, betapa dungunya orang yang mengatakan dua berbeda itu sama; dua kitab suci yang jelas berbeda bahkan kadang bertentangan adalah sama; dua agama yang saling bertentangan adalah sama-sama benar. Akal sehat mana yang bisa mempercayai pernyataan seperti itu? Ia adalah musuh besar pluralisme yang mendakwakan dirinya sebagai pembela pluralisme. Ia adalah maling pluralisme yang menuduh orang lain sebagai maling. Inilah penyakit yang di idap oleh kaum liberalis akan tetapi mereka tidak menyadari. Bersama Menuju Pluralisme Ada banyak hal yang amat menghambat kita dalam mewujudkan semangat pluralisme di Indonesia diantaranya: A . Problem nasional yang tidak kunjung padam, serta tidak adanya jaminan keamanan bagi masyarakat dari penguasa, berikut lambatnya penguasa menangani konflik. Hal yang akan menjadikan semua serba panas, bikin sesak dada, rasa ingin berontak, saling menyalahkan yang tidak hanya mempertinggi volume ketegangan antar agama tapi juga antar suku yang kadang juga masih seagama. Solusi problem yang satu ini lebih tepat jika diserahkan kepada pemerintah dengan syarat “sungguh-sungguh”. B . Problem seagama. Dalam Islam misalnya, masih sering terjadi permusuhan antar kelompok. Berbeda pendapat adalah wajar, tetapi mengklaim kekafiran atau bid`ah terhadap kelompok tertentu tanpa prosedur yang sah dalam Islam amat mengganggu jalannya pluralisme. Belum lagi adanya isu-isu aneh tentang pemikiran (yang seolah-olah Islami) yang sering diangkat ke permukaan, yang hanya akan menambah suasana yang sudah panas ini bertambah panas. Untuk problem ini solusinya adalah mengembalikan permasalahannya kepada pakar Islam. Pakar yang benar-benar pakar, tercatat pernah mempelajari Islam dengan benar dengan bimbingan guru yang benar, punya mata rantai keilmuan dengan guru pluralis Nabi Muhammad SAW. C.Problem moral. Banyaknya kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat kita, mulai dari pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, korupsi, dll adalah potret nyata jauhnya masyarakat kita dari tata moral agama. Pelakunyapun merata di seluruh lapisan masyarakat. Mulai dari rakyat kecil, pejabat, orang awam, bahkan tokoh agama. Hal semacam ini yang menimbulkan keraguan terhadap fungsi agama sebagai cara dan jalan hidup. Padahal jelas kesalahan bukan di agama tapi pada pemeluk agama. Orang yang semacam ini amatlah sulit untuk diajak mengerti tentang pluralisme, apa lagi untuk menerapkanya. Padahal pluralisme dalah puncak moralitas. Untuk problem yang satu ini adalah Pekerjaan Rumah (PR) bagi semuanya, mulai dari penguasa, tokoh agama, lembaga-lembaga sosial dan keagamaan dan setiap individu, untuk sama-sama menyadari pentingnya bermoral dalam beragama dan bermasyarakat. Karena moral sifatnya “kesadaran penuh” saat disaksikan orang atau tidak. Maka pembinaannyapun tidak cukup dengan penegakan hukum oleh penguasa, tapi lebih dari itu, harus tercipta kesadaran dalam beragama. Artinya keyakinan akan adanya hari pembalasan, keyakinan bahwa yang lolos dari hukuman di dunia tidak akan lolos dari hukuman Tuhan di hari pembalasan. Dan kebaikan yang kita lakukan sekarang akan kita petik buahnya kelak. Dengan demikian pintu akan terbuka lebar untuk mewujudkan pluralisme atau bahkan dengan sendirinya pluralisme akan terwujud. Karena pluralisme tidak lain dari tata moral dalam bermasyarakat, baik itu sesuku, seagama, antar agama dan antar bangsa dengan menjauhkan problem sosial,agama dan moral dalam individu dan masyarakat. Dengan penuh pengharapan kepada Allah semoga pluralisme tidak hanya di layar atau di selebaran terbaca dan meja diskusi. Tetapi akan benar-benar tertanam dalam hati bangsa Indonesia lalu di terjemahkan kedalam dunia interaksi hingga negeri ini akan tentram damai penuh rahmat dan pengampunan dari Allah SWT. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

W
A
S
i
i
b
a
N
n
a
a
l
A
'
u
u
l
l
o
h
S